top of page

APABILA SUAMI/AYAH TIDAK MENAFKAHI, BERHUTANG DAN KAWIN SIRI DENGAN PEREMPUAN LAIN.

1. NAFKAH TIDAK DIBERIKAN.

 

Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Khusus bagi yang beragama Islam, kewajiban suami terkait dengan nafkah diatur dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Dalam pasal itu diatur bahwa sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:

 

a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.

c. Biaya pendidikan bagi anak.

 

Dan jika suami melalaikan kewajibannya, istri dapat mengajukan gugatan nafkah ke Pengadilan (lihat Pasal 34 ayat 3 UU Perkawinan). Bagi penganut agama Islam gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Agama pada domisili tergugat dan bagi yang beragama lainnya gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada domisili tergugat.

 

Seorang istri yang tidak dinafkahi suaminya bisa mengajukan gugatan nafkah, tanpa perlu mengajukan gugatan cerai. Demikian menurut pendapat dari hakim Mahkamah Agung Andi Syamsu Alam dalam artikelnya menjelaskan:

 

“Meski dibolehkan Undang-undang, gugatan nafkah memang belum popular di masyarakat. Banyak yang tidak tahu gugatan nafkah bisa diajukan. Bahkan kalau misalnya anak butuh biaya sekolah tapi bapaknya yang mampu ternyata tidak mau membiayai, itu bisa digugat." “Hal positif dibolehkannya gugatan nafkah, adalah utuhnya biduk rumah tangga. Hakim selaku pemutus sengketa selalu menekankan agar pasutri yang ingin bercerai membatalkan niatnya. ‘Yang paling penting dalam gugatan nafkah adalah pembuktian. Harus jelas berapa penghasilan suami; berapa nafkah yang layak diberikan untuk istri dan anak.”

 

Jadi, atas nafkah yang tidak diberikan oleh Ayah/Suami Anda, keluarga Anda dapat mengajukan gugatan nafkah agar kewajiban tersebut dapat diberikan oleh Ayah/Suami Anda sesuai dengan penghasilannya.

 

Selain itu, mengenai Ayah/Suami Anda yang meninggalkan kewajiban-kewajibannya terhadap keluarganya juga dapat dijerat dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Dalam Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT diatur bahwa:

 

“setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.” Orang yang melanggar pasal tersebut diancam pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lihat Pasal 49 huruf a jo Pasal 9 ayat 1 UU PKDRT).

 

2. ADANYA HUTANG.

 

ILLUSTRASI KASUS:

 

Daeng (Suami/Ayah) pergi meninggalkan istri dan anak-anaknya dengan meninggalkan banyak hutang dan sudah lebih dari 3 tahun ini tidak pernah memberi nafkah kepada keluarganya. Salah satunya Baso (anak sulung) pernah berhutang ke temannya sejumlah Rp. 30.000.000,- untuk modal usaha Daeng, tapi Baso baru tahu kalau uang itu dipakai buat menghidupi keluarga selingkuhannya juga. Besse (istri Daeng) juga sudah berkorban banyak untuk Daeng.

 

Bisakah Daeng dituntut oleh keluarganya???

 

Perlu digaris bawahi bahwa setiap orang yang berutang memiliki kewajiban untuk melunasi utang tersebut. Bila utang tidak dilunasi, debitor dapat digugat wanprestasi (Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata - "KUHPerdata"). Lebih jauh mengenai wanprestasi simak Doktrin Gugatan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

 

Dengan demikian, Anda perlu berhati-hati apabila meminjam uang tapi untuk keperluan orang lain (dalam hal ini Ayah/Suami Anda), namun menggunakan nama Anda sebagai peminjam. Dengan demikian, kewajiban untuk melunasi ada pada Anda karena perikatan yang terjadi (kreditor dan debitor) adalah antara Anda dengan teman Anda, meskipun Ayah/Suami Anda yang menggunakan uang tersebut. Terhadap utang-utang yang lain, Ayah/Suami Anda berkewajiban untuk melunasinya. Bila tidak, ada kemungkinan pada kreditor akan menggugat Ayah/Suami Anda dengan gugatan wanprestasi.

 

3. PERKAWINAN SIRI.

 

Istilah kawin siri lazimnya mengacu pada perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama (Islam), namun tidak dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan siri tidak diakui oleh hukum negara. Akibatnya, hak-hak istri yang dikawin secara siri serta anak-anaknya tidak dilindungi oleh hukum jika si suami tidak memenuhi hak-hak tersebut. Sang istri misalnya tidak dapat menggugat si suami jika suatu saat yang bersangkutan meninggalkan dia dan anak-anaknya. Demikian kurang lebih status perkawinan siri Ayah/Suami Anda dengan istri sirinya.

 

Karena perkawinan siri Ayah/Suami Anda tidak diakui secara hukum, maka ibu Anda tidak dapat menuntut agar perkawinan siri tersebut dibatalkan. Jadi, dengan asumsi perkawinan Ayah/Suami Anda dengan ibu Anda dahulu dilakukan sesuai hukum yang berlaku (sesuai hukum agama dan dicatatkan), maka yang diakui oleh hukum adalah perkawinan Ayah/Suami Anda dengan ibu Anda. Yang dapat dilakukan ibu Anda dalam hal ini adalah sebagaimana telah dijelaskan dalam angka 1 di atas.

 

Demikian, Semoga Bermanfaat.

All Copyrights reserved to R.Y. Disastra Law Firm © 2013 

bottom of page